Laman

Jumat, 23 Oktober 2015

Tutup Buku

Bukan panjang-pendeknya kata yang mampu ilustrasikan rasa.
Bukan pula rima yang menentukan nilai estetika.
Ada yang tersirat di balik rimbunan huruf dan spasi.
Tak berpola, namun sarat makna.
Hanya terasa oleh segelintir insan yang tenggelam menyepi, terlambungkan mimpi, terhunus kenangan pilu, atau tersayat bilah-bilah rindu.

Lembaran buku ini tak penuh terisi.
Pernah ku isi sebentar, lalu ku tutup kembali.
Ku akhiri dengan sebuah titik tanpa spasi.
Berharap mampu membuka buku lain, mengisinya dengan hal yang lebih ceria, lebih berwarna.

Berbagai tulisan terukir, warna tertoreh, sketsa tergambar pada lembaran-lembaran yang terkotak-kotakkan dalam bukuku.
Selalu berusaha mengakhiri satu cerita dengan titik tanpa spasi.
Yang lalu biarlah berlalu, harapku.

Suatu ketika, ku tuliskan seuntai frasa pada sehelai lembar kosong.
Bukan buku baru.
Ini buku usang.
Yang lembarnya kembali ku isi.
Pada paragraf berbeda dan lembar berbeda.

Tak banyak tinta ku goreskan pada lembaran ini.
Kertasnya terlalu kasar, membuat aus ujung penaku.
Memaksanya berhenti.
Pada suatu titik tanpa spasi.

Buku itu ku tutup kembali.
Jikalau harus terisi, semoga tak ada lagi pena yang terlukai.

Waktu berlalu, jemari ini tak henti menari.
Semakin banyak dongeng tercipta, dengan taburan karakter bermacam rupa.
Andai bisa memilih, aku pilih tumpukan buku baru untuk ku isi dengan jutaan kisah yang ingin ku narasikan.
Namun ada yang menarikku kembali.
Ke sebuah buku usang yang pernah ku coba akhiri.
Hendak ku goreskan lembarnya dengan pulpen biasa, tapi tak bisa.
Harus pena yang sama.
Meski curiga cerita ini akan kembali terhenti tiba-tiba, tangan ini tetap bekerja.
Karena ada sesuatu yang terasa, entah apa, sesuatu yang bersembunyi di balik aksara.

Lalu ia terhenti di sebuah koma, dengan spasi, tak diteruskan, pun enggan diselesaikan.
Penaku tak lagi berguna, ia terlanjur luka.

Andai mampu, ingin ku akhiri tulisanku.
Pada sebuah titik.
Tanpa spasi. Tanpa lembar berikutnya.
Agar tak lagi ada cerita, tak lagi ada luka.

Tak mengapa.
Koma tak selalu berarti jeda.
Titik pun tak melulu berhasil mengakhiri.

Untuk sekian kali, buku ini aku tutup lagi.
Semoga tak ada yang menarikku kembali.
Penaku terlanjur rusak, sudah tak bisa kulanjutkan tulisanku.
Kalaupun penaku mampu, mungkin aku tak mau.

Buku ini ku tutup.
Usanglah..
Biar sisa lembarnya habis termakan waktu.
Dan ku lanjutkan tulisanku di buku yang baru,
lembaran baru,
dengan pena yang baru..