Laman

Senin, 30 September 2013

Suatu Hari di Bulan September (4) - end

Dalam perjalanan pulang, "nduk, pilek?"
"Nggih, pak, Dian rada meler". Tanpa disadari air mata ini masih juga menetes. Aku harap bapak tidak curiga. Entah sudah berapa kali di tahun ini aku menangis. Maaf.. maaf..

Oktober. Dua bulan lagi, tahun berganti. Apakah tahun ini akan ku tutup dengan tangis juga? Aku harap tidak. Dan nyatanya memang tidak. Merenung memang hal yang baik. Untuk berintrospeksi, untuk bersyukur dan menerima masukan serta motivasi dari orang-orang yang senantiasa kau sebut keluarga. Hari itu, aku merasa lebih baik. Bisa jadi sangat baik. Mungkin.

Rutinitas di sekolah harus kembali dijalani. Kali ini aku harus kembali menjadi aku. Aku yang semangat. Aku yang kuat. Aku yang tidak pernah menyerah.

Aku sadar tidak ada gunanya menyalahkan diri terus-menerus, apalagi sampai berakibat kehilangan fokus dan motivasi.
Aku sadar tidak ada gunanya merasa disakiti hanya karena suatu hal kecil. Apalagi sampai membuatku merasa terbebani, emosional dan berpikiran negatif kepada orang.
Aku sadar tidak ada gunanya merasa sedih. Apalagi kesedihan berkelanjutan yang membuatku malas dan merasa takdir tidak memihakku.

Aku gagal? Ya. Salahku? Ya. Lalu kenapa tidak mau mengakui kelemahan diri sendiri? Belajar menerima apa yang seharusnya kita terima. Itu yang seharusnya aku lakukan. Kecewa? Sedih? Boleh, tentu saja boleh. Itu naluriah.. Yang tidak wajar adalah penyesalan yang berlebihan. Jadi, aku harus berhenti menyesal, dan bangun menyambut masa depan.
Dan disini aku sekarang. Berdiri jauh lebih tegak. Menatap jauh ke depan. Menghargai takdir sebagaimana mestinya. Dan sangat bersyukur masih memiliki orang-orang yang mendukungku. Keluargaku. Teman-teman di asrama. Teman-teman olimpiade. Teman-teman kecilku.

Sedikit demi sedikit, aku pulih. Akhir tahun mulai dekat. Rasa-rasanya Dian sudah kembali menjadi Dian. Terus berjuang di dunia matematikanya dan berusaha bersaing meski selalu dengan status ,"the only girl'. Tidak terkecuali saat itu. Saat camp olimp diselenggarakan di sekolahku. Kelas matematika SMA, dipisahkan menjadi dua. Kelas 11 dan kelas 9-10. Tentunya aku ada di kelas yang pertama. Kelas yang hanya berisi 6 orang (atau 7?), dengan aku satu-satunya perempuan (seperti biasa) dan yang lain teman-teman sainganku di olimpiade (termasuk trio Semesta, partnerku). Bersaing? Sangat. Dari keenam orang ini, semuanya terlibat di OSN, dan bahkan 4 di antaranya anak pelatnas. Termasuk dia yang dari kemarin ku singgung.
Bagaimana perasaanmu sekarang, Dian? Aku baik-baik saja. Segalanya terasa baik saat ini. Tidak ada lagi sakit hati, tidak ada lagi sesak. Aku pulih. Tentu saja aku pulih..

Hari-hari kemudian membuatku lebih semangat. Walaupun tidak jarang aku masih sering terjatuh. Tapi bukankah jatuh dan sakit itu bagian dari tumbuh? Hidup 'kan proses. Selalu ada di atas dan di bawah.. Yang penting, kita tetap berusaha untuk melaluinya dengan baik.

Untuk sahabat yang menjadi tujuanku menulis ini, tetap semangat yaa.. Masa lalu tidak harus dilupakan, hanya saja relakan.. Jangan terlalu sering berduka, berduka itu menjauhkan hatimu dari kejernihan. Jangan berpikir, sekali gagal berarti memang bukan jalanmu. Kadang butuh tenaga ekstra untuk mendapatkan yang kau mau. Kalaupun pada akhirnya tidak bisa tercapai, pasti ada hal lain yang jauh lebih istimewa yang kamu dapatkan selama menjalani proses. Dan satu lagi, jangan pernah memikirkan pantas atau tidak pantas saat kau mendapatkan kesempatan emas. Just grab it, and give your best.. Kalau menunggu pantas, mungkin kita tidak akan menjadi apa-apa sampai tua nanti..

Dan untuk dia yang aku singgung-singgung dalam tulisan ini. Yang aku harap tidak pernah membaca tulisanku, tapi malah sebaliknya yang terjadi. Terima kasih telah membiarkanku mengetahui jawaban atas pertanyaan, "kenapa nggak pernah bilang".. Pembicaraan beberapa hari lalu cukup membuat lega karena akhirnya aku tahu alasan mengapa ada hal yang 'berbeda' darimu yang menghantui pemikiranku beberapa tahun yang lalu (tidak perlu diceritakan 'kan isinya?) Dan sekali lagi terima kasih telah membiarkan aku tahu. Maaf kalau aku bahkan jarang menanyakan apa permasalahanmu dulu. Memang aku terlalu apatis saat itu. Tapi, yang jelas, sekarang semuanya sudah berlalu. . Meskipun sudah bertahun-tahun tidak bertemu, kita masih teman 'kan? *bukanmoduslho

Di suatu novel yang pernah ku baca, ada kalimat.. Hidup yang tenang bukanlah saat kau melupakan masa lalumu, melupakan pahitnya kenangan-kenangan lamamu, tapi saat kau bisa berdamai dengannya. Berdamai dengan masa lalu. Kapankah itu? Saat kau bisa mengingat saat-saat beratmu -yang dulu kau ingat sambil menangis- dengan tersenyum, dengan tertawa. Dan ya, aku berhasil melakukannya. Berdamai dengan masa laluku.. Aku bisa. Itu berarti, kamu juga bisa. :)

Suatu Hari di Bulan September (3)

bunyi chat masuk*
"Maaf..."
"Maaf kenapa?"
"Kamu tau kok."
"Oh, cewek itu?"
"Iya, maaf.. "
"Nggak papa, kamu juga punya hak. Emang sejak kapan?"
"Sejak camp olimp, disitu aku ngerasa kamu belum bisa buka hati buat aku. Dan di saat yang sama dia hadir dan ngasih perhatian lebih ke aku.."
"Kenapa nggak bilang dari dulu?"
"Aku cuma nggak pengen nyakitin kamu."
. . . . .
("Harusnya kamu bilang aja dari dulu.")
. . . . .
Punya hak aku bilang? Memang. Bukankah dia tidak pernah punya ikatan apa pun denganku? Hati kecilku ingin memarahinya. Ingin berkata, "kamu jahat". Tapi tidak bisa. Mana mungkin aku bisa?

Pembicaraan terhenti sesaat, tapi kemudian dia mengganti topik seakan tidak ada yang pernah terjadi. Sebenarnya sakit.. Haruskah aku menangis? Belum. Aku masih bisa tahan.
Tidak lama kemudian saat aku masih mencari-cari data dan belum sempat menyimpannya, tiba-tiba..
Gelap. "Ah, mati iki listrike..", teriak seseorang dari luar.
Damn. Tugaskuuuu.. Aku bergegas keluar untuk membayar dan ingin cepat pulang. Jengkel berkali-kali lipat -_-
Selesai membayar, aku berbalik badan menuju pintu keluar. Seperti biasa, aku tengak-tengok ke arah bilik warnet (tidak pernah ada maksudnya, hanya kebiasaan).
Di bilik dekat pintu keluar, aku menengok tepat saat seseorang di dalamnya menengok ke arahku. Dia. Aku bingung, kaget, speechless. Akhirnya aku hanya tersenyum kaku, menyapa sesaat dan cepat-cepat pergi. Kali ini aku benar-benar ingin cepat menghilang dari tempat ini. Aku berjalan pulang tanpa menengok ke belakang. Aku tidak ingin melihatnya sekarang meskipun hanya dari belakang.

Waktu menunjukkan pukul 3 sore. Aku solat lalu bersiap-siap berangkat ke rumah guruku. Itu sudah kegiatan rutin pengisi liburan untukku. Sampai disana, guruku menyambutku sambil berkata, "kene, nduk, lungguh kene. Sebelahe ****** ki kosong, lungguh kene wae ya.."
Apa bu? Jadi dia disini? Dan aku harus bersebelahan dengannya? Seharusnya aku tidak datang hari ini.. Aku tidak banyak bicara, hanya mendengarkan cerita teman-teman sambil sesekali tersenyum. Aneh. Semuanya terasa aneh. Seperti sudah ada batasan di antara kami.
Akhirnya, aku pamit pulang sebelum azan magrib tiba. Aku berjalan sendirian sambil memikirkan berbagai hal. Sakitnya masih terasa.. Bisakah aku menangis sekarang? Tidak, aku masih kuat.

Sampai di rumah aku berbuka dan beraktivitas seperti biasa. Aku dan keluargaku biasa solat tarawih di masjid dekat rumah. Setidaknya solat bisa menenangkan hati. Dan aku butuh itu. Aku dan keluargaku berangkat ke masjid. Masjid yang kami datangi menempatkan posisi belakang untuk jamaah wanita dan depan untuk pria, dibatasi oleh sekat transparan di tengah-tengahnya. Kata ibu, itu bermanfaat. Karena ibu bisa mengontrol tingkah laku adikku yang solat di depan -_-
Di tengah-tengah jeda solat tarawih, ibu tiba-tiba bilang, "nduk, ibu kok koyo kenal bocah kae, ndak ora ******?" *sambil melirik seseorang di depan?"
Sekilas aku perhatikan depan. Memang dia.. lagi.. Sudah, Tuhan, lelah aku dengan hari ini.
Hari ini sangat konyol. Terlalu konyol untuk aku lalui. Aku tidak pernah berfikir hariku bisa seburuk cerita sinetron. Tapi kenapa ternyata justru hari ini semuanya serba kebetulan. Buruk, hari yang buruk.
Konyol, tapi tetap saja sakit..

Sampai di rumah, tanpa banyak basa-basi aku masuk ke kamar. Ku kunci rapat-rapat. Kali ini aku benar-benar ingin sendirian. Dan sewajarnya orang lain, sendirian berarti saatnya pikiran ini berkecamuk di kepalaku.
Tentang semua cobaan, kegagalan, ketidakberuntunganku, semuanya..
Masih bertahan untuk tidak menangis? Kali ini aku kalah. Kalah terhadap emosiku sendiri.

Waktu berjalan dan berjalan. H+7 lebaran terlewati.. Saatnya kembali ke sekolah, saatnya kembali ke kelas yang selama setahun ini hanya aku masuki kurang dari 3 bulan (sisanya di perpus, atau bahkan tidak di Semesta). Sudah membaikkah kabarmu, Dian?
Tidak juga, kadang masih emosi melihat orang-orang yang sudah menghinaku, kadang juga merasa sangat bodoh karena telah mengecewakan banyak orang.. Bisa tersenyum? Kadang. Tidak banyak yang bisa menghiburku saat itu, kecuali keluargaku sendiri.
Dia? Jangan tanya. Aku meneruskan hidupku. Dia meneruskan hidupnya. Sejak hari itu, aku tahu hal yang paling baik adalah menjaga jarak dan membiarkan semua berlalu, tanpa merasa pernah terjadi apa-apa.

Seminggu berjalan, datang surat yang beralamat kepadaku. Panggilan pelatnas. Masih ada kesempatan, batinku. Mencoba memupuk semangat, seharusnya aku bisa lebih baik sekarang. Seharusnya..

Aku lupa. Sangat lupa.. jika ternyata dia juga ikut. Hmm, cobaan dua kali lipat. Bisa membayangkan berusaha melupakan orang, tapi setiap hari selama sebulan penuh harus bertemu dengan orang tersebut? Bahkan beraktivitas bersama? Makan, belajar, dari jam 8 pagi sampai sekitar pukul 10 malam? Setiap hari? Itu susaaaaahhh... Masih sakit bahkan, asal kau tahu.
Dan kabar buruknya lagi, kesehatan bapak agak drop lagi. Satu hal lagi, ternyata aku belum berhasil memupuk semangatku. Salah-salah, akibatnya malah aku kehilangan fokus dan segalanya buyar.
Boro-boro bisa lolos ke tahap selanjutnya, hasil tesku justru merosot jauh.. Peringkatku tahun ini lebih menyedihkan dibanding tahun lalu. Dan di saat yang sama, teman seperjuanganku sejak pelatnas sebelumnya justru tiba-tiba mendewi dan melejit ke babak selanjutnya.
Kecewa? Sangaaat. Saat itu.

Sebulan akhirnya berlalu. Jogja, terimakasih dua tahun ini memberikan pengalaman baru, meskipun hasilku jauh dari cukup..
Bapak agak membaik. Sebelum kembali ke sekolah, aku ingin pulang. Ingin bersama bapak, ibu, semuanya. Aku bilang akan pulang naik travel. Bapak tidak mengijinkan. Beliau justru ngotot ingin menjemputku ke Jogja dengan motor tersayang.. Mana mungkin aku tega? Tapi berdebat dengan bapak memang sudah dapat ditebak hasilnya. Akhirnya, bapak benar-benar sampai Jogja dengan motornya seusai penutupan pelatnas berakhir.

Siang itu, aku berjalan menuju kamar usai penutupan. Beliau berdiri di kejauhan, kemudian berjalan menghampiriku sambil tersenyum ,"ayo, nduk".. Langsung ku peluk beliau, kemudian bergegas ke kamar mengemasi barang. Hanya berkemas? Tidak, berkemas sambil menangis, iya.. Haru, sedih, bersalah. Haru, melihat beliau berdiri tegak, sehat, tersenyum di depanku. Sedih, mengingat dalam keadaan yang belum pulih benar, beliau mengorbankan diri menjemputku. Bersalah, menyadari dalam umurku yang sudah sebesar ini masih saja merepotkan dan belum bisa memberi yang terbaik.
Tuhan, selagi masih ada kesempatan, izinkan hamba-Mu yang kurang bersyukur ini membahagiakan orang lain. Setidaknya kedua orang tuanya sendiri.. Izinkan, Tuhan..

Sabtu, 21 September 2013

Suatu Hari di Bulan September (2)

Untuk pertama kalinya di tahun ini, tangisku pecah. Aku tahu tidak mungkin bapak kambuh beberapa hari terakhir. Pasti sudah lama, hanya saja semua merahasiakannya dariku. Berat ya, Tuhan. Maaf kalau keadaan Dian yang jauh dari rumah justru membuat bapak ibu menahan beban. Maaf..
Ruang hampa di dalam batinku terisi. Terisi sebuah kesedihan dan rasa bersalah.

Aku tidak menceritakan hal ini kepada siapapun. Kecuali dia. Dia selalu bilang, "kita harus jadi orang bener, inget orang tua di rumah, aku juga nggak pengen bikin umi nangis lagi".
Dan tiap kali dia pulang naik bus melintasi pangkalan ojek dekat rumah dia selalu bilang, "dian tetep semangat ya, kasian bapak kerja sampe malem".
Dan karena dia satu-satunya yang tahu bapak dirawat, dia yang selalu menghiburku. Meski tidak bisa menjenguk langsung, tak apa, aku juga tahu dia sibuk.

Sebulan dari masa libur telah berlalu. Bapak sudah keluar dari RS jauh-jauh hari. Alhamdulillah sehat.
Hal yang aku tunggu-tunggu datang. Pengumuman OSN. Kami lolos. Sebelum berangkat ke tingkat nasional, kami mengikuti pelatihan selama sebulan di Salatiga. Dan sebelumnya, tentunya ada yang harus diurus dulu di sekolah.
Bertemu Kepsek dan GM malah membuatku terbebani. Aku dan seorang kakak kelasku diwanti-wanti harus mendapat emas. Alasannya? Karena di tahun sebelumnya kami sudah ikut dan memperoleh hasil yang lumayan. Jadi beban tahun ini, kami yang harus memanggul paling berat. Sayangnya, seperti yang aku bilang. Kehidupanku sebelumnya terasa mudah. Aku mungkin berhasil mendapat gelar terbaik selama ini. Tapi apa aku pantas? Pertanyaan ini bersemayam di kepalaku dan buruknya, mengganggu kinerjanya..

Sebulan mengikuti pelatihan, aku merasa kehilangan fokus, ada beban, ada yang salah denganku. Dia tetap di sisiku. Menyemangatiku, yang masih berkutat dengan permasalahan pantas tak pantas. Dia tetap baik. Suatu siang bahkan, saat sesi belajar siang dimulai, dia masuk sambil agak salah tingkah memberikan bungkusan. Coklat dan es krim :) Alasannya hanya karena aku terlihat murung seharian. Fyi, wisma yang kami tinggali jauh dari keramaian. Mencari warung kecil dekat situ pun agak susah.
Teman sekamarku (yang juga temannya) mengetahui hal ini dan kemudian menyeletuk, "udah sih, Day, terima ajaaa. Itu udah romantis bangeeett ". Entah. Masih ada yang berbeda darinya yang tidak aku mengerti...

OSN tiba dan dengan cepatnya berlalu. Hasilnya, kontras dengan hasilku yang lalu-lalu. Hasilku.. jauh dari emas. Sakit, sedih, kecewa. Aku telah mengecewakan banyak orang. Pihak sekolah, pihak dinas provinsi, banyak.. Aku merasa menjadi orang yang sangat konyol. Hal yang berat adalah saat menyadari dirimu tidak mampu memberikan yang terbaik, gagal memenuhi harapan besar orang-orang terdekatmu, padahal kesempatan cukup lebar. Sedihnya lagi, kegagalan tadi hanya disebabkan oleh labilnya emosiku. Mempermasalahkan kepantasan..
Sekarang aku bisa apa? Memaki? Marah? Bukan. Lagi-lagi aku hanya bisa menangis. Tangisan keduaku di tahun ini. Tangis yang kembali mengisi ruang batinku.
Dia? Dia memperoleh hasil yang sama denganku, beberapa peringkat di bawahku. Hasil yang baik untuk kesempatannya yang pertama. Dia tersenyum sambil berusaha menghiburku.
"Kita masih bisa pelatnas kok. Ayo semangat! "
"Iya sih, kamu mau ngejar IMO apa ngejar lagi di Medan?"
"IMO dooonngg..." *tertawa*
*tersenyum* "Aku ke Medan aja taun depan" (sepertinya dia tidak mendengar)

Kami pulang. Mendapat cuti seminggu sebelum kembali menjalani kehidupan 'normal' lagi aku rasa layak untuk kami. Waktu yang cukup untuk me-refresh otak kembali dan mempersiapkan diri. Dan yang utama bagiku, berusaha mengurangi rasa bersalah atas kegagalan ini.
Kegagalan kami, terutama aku, berdampak ke teman-teman olimpiade di sekolah. Di satu hari saat kami masih cuti, siswa-siswi olimpiade dikumpulkan oleh GM kami. Beliau marah. Marah besar. Yang lebih menyakitkan saat mendengar cerita itu adalah penghinaan beliau.
"Ini kenapa ya tahun ini tidak ada yang mendapat emas?
Kenapa malah banyak yang dapatnya hanya perunggu?
Perunggu itu apa? Ini. " *menunjuk pegangan pintu*
"Perunggu itu bukan prestasi."
Aku memang tidak berada di tempat saat itu. Tapi mendengarnya saja sudah cukup menyakitkan. Kemarahan yang paling besar bukan saat kamu balas memarahi atau mengucap sumpah serapah
Tapi saat kamu tidak sanggup berkata-kata, hanya air mata yang mengalir. Dan itu yang terjadi padaku. Tangis ketiga di tahun ini. Tiga kali sudah terlalu banyak. Tapi aku masih bisa menahannya. Aku masih mampu.
Aku sebenarnya masih dongkol. Tidak masalah sebenarnya beliau marah, tapi setidaknya jangan menghina. Mungkin bukan hal besar untuk beliau. Tapi itu aku peroleh dengan seluruh usaha yang aku keluarkan. Aku sudah cukup marah kepada diriku sendiri. Apa harus aku marah juga pada beliau? Apa itu penting?

Di sela-sela cuti aku sempatkan mengunjungi guru SMP-ku. Biasanya itu menjadi tempat berkumpul adik-adik kelas dan alumni. Aku ingin bertemu teman-temanku, siapa tahu bisa mengurangi beban hati.
Aku duduk bersama dua adik kelasku. Mereka teman yang baik. Sangat baik. Kami mengobrol banyak. Hingga akhirnya pembicaraan menyerempet tentang dia.
"Eh, mbak tau nggak temen deketnya ******?"
"Nggak, emang ada gitu? Siapa e?"
"Ada, anak ******" *menyebut suatu nama daerah*
"Oalah nggak ngerti aku malah.."
Teman dekat? Sedekat apa? Itu siapa? Kenapa aku tidak pernah tahu?
Aku curiga, mungkin itu sebabnya dia terasa berbeda. Mungkin. Aku belum bisa bertanya padanya. Ada waktunya nanti. Sampai saat itu datang, aku harus bersikap sewajarnya.. Semangatku masih belum kembali, tapi justru beban di hatiku bertambah. Satu lagi...

Bulan puasa tiba, September pun tiba.. Hari masih terasa berat. Aku masih sering termenung, melamun, menangis.. Teman-teman hanya bisa prihatin. Hiburan macam apa pun sudah tidak mempan bagiku. Dia masih menjalin komunikasi denganku. Tapi rasanya semakin hambar. Aku berusaha bertindak wajar. Tapi sulit..

Akhirnya, libur lebaran dimulai. Seburuk apapun harimu, pulang adalah hal paling menyenangkan. Berada di tengah orang-orang yang tidak akan pernah meninggalkanmu sendirian. Menyenangkan.

Sayang libur tidak sepenuhnya libur. Masih saja ada tugas. Dan karena saat itu laptop dan modem masih menjadi benda asing, aku harus ke warnet untuk mencari data-data.
Siang itu aku pergi bermodal flashdisk dan uang 10 ribu di saku. Sewajarnya orang lain, sambil mencari data, sambil online media sosial. Waktunya tiba. Hari itu. Suatu hari di bulan September yang menjadi puncak rasa sakitku di tahun tersebut..

Jumat, 20 September 2013

Suatu Hari di Bulan September (1)

Weekend mendekat, sayang masih ada satu tugas dari dosen yang belum ku selesaikan. Suntuk sekali rasanya, malas melakukan apapuunnn. Sembari menunggu mood membaik, aku iseng membaca-baca blog teman-temanku. Aku terhenti di salah satu post di blog seorang kawan.

Seorang gadis periang, adik kelas sekaligus salah satu sahabatku. Dalam tulisannya, aku tahu saat itu masih sulit baginya untuk bangkit ketika ia baru saja terjatuh (lagi) sedangkan teman-temannya melaju dalam bidang yang dulu menjadi masa lalunya.. Dia sering bercerita padaku, tentang kehidupannya, tentang hati, tentang seseorang yang pernah singgah disana dan keinginannya untuk melupakan semua.. Aku tidak pernah bisa membantunya lebih dari menghibur dan sekedar memberi saran, meskipun aku pikir itu tidak cukup. Yang ingin aku sampaikan sekarang adalah.. Aku juga pernah jatuh, dan menangis. Meskipun dalam hal yang berbeda, aku juga pernah merasakan sedikit dari yang dia rasakan. Kau tidak sendirian, kawan. Kamu tidak harus melupakan masa lalu. Hanya saja, coba relakan..

Luka tidak selalu hilang seutuhnya. Bekas luka tak selamanya buruk. Bekas luka bisa mengingatkanmu bahwa kau pernah berada dalam situasi yang tidak menyenangkan, tapi kau berhasil melewatinya..
Sepertiku.. Yang berhasil melewatinya. Melewati suatu hari di bulan September. 2009.

*bunyi chat masuk*
"Maaf.."
"Maaf kenapa?"
"Kamu tau kok"
"Oh, cewek itu?"
"Iya, maaf.."
"Nggak papa, kamu juga punya hak. Emang sejak kapan"
"Sejak camp olimp, disitu aku ngerasa kamu belum bisa buka hati buat aku. Dan di saat yang sama dia hadir dan ngasih perhatian lebih ke aku."
"Kenapa nggak bilang dari dulu?"
"Aku cuma nggak pengen nyakitin kamu"
                . . . . . . . .

Kembali ke tahun 2009

2009 tahun yang menyenangkan, tahun penuh keberuntungan, penuh kebahagiaan. Semuanya baik-baik saja.. Setidaknya itu hal yang aku rasakan sejak awal tahun hingga mendekati pertengahan tahun.

Aku siswi olimpiade di sekolahku. Artinya, ketika semester genap dimulai, aku harus keluar dari kelas, stay di perpustakaan dan menjalankan rutinitas baru. Self study. Berbekal buku dan soal-soal yang dimiliki, kami berbagi ilmu dan belajar bersama. Monoton mungkin. Tapi menyenangkan saat kami menjalaninya dengan tertawa. Lagipula, berbagai bidang pelajaran ada disini, bukankah itu justru berwarna? Tak jarang pula beberapa dari kami mengikuti kompetisi-kompetisi regional. Lumayan lah untuk latihan, pikir kami. Herannya, entah mengapa, tiap kali mengikuti kompetisi, aku selalu beruntung. Seakan semua terasa mudah..

Semuanya baik-baik saja. Kehidupanku baik-baik saja. Teman-teman selalu bersamaku. Juga 'dia'..

'Dia' orang yang telah ku kenal 4 tahun lamanya saat itu. Partner sekaligus sainganku 3 tahun terakhir. Dan orang yang sangat dekat denganku setahun terakhir. 'Dia' orang yang misterius tapi pengertian. Selalu ada, selalu menyemangati dan selalu menghargaiku. Orang yang merasa bahwa akulah yang membuatnya berubah (meski aku tak pernah merasa melakukan apapun). Orang yang romantis dengan caranya sendiri..
Sebelumnya, di masa-masa akhir SMP, dia menghilang. Entah pergi kemana. Tak pernah batang hidungnya muncul. Lost contact. Aku pikir itu akhir. Lagi-lagi, salah satu sahabatku raib dari hidupku. Tapi ternyata, di bulan pertama menjadi murid SMA, dia muncul kembali. Ternyata dia bersekolah di tempat yang sangat familiar di telingaku. Aku tidak tahu ada apa, yang jelas ada yang berbeda saat itu. Dan cerita kami berlanjut sejak saat itu..

----------
Terhenti sejenak. Batasan hari terlewat. Tapi aku tak bisa berhenti menuliskan ini. Semuanya mengalir. Ada kalanya memori mengalir begitu saja. Dan itu yang aku alami saat ini..

----------
Ada yang berbeda. Tapi akhirnya aku tahu apa itu. Dia akhirnya mengatakan alasannya datang kembali ke kehidupanku. Rasa bingung dan heran malah membuatku hanya terdiam.. Tidakkah dia tahu pintu ini tertutup terlalu rapat dan bahkan aku sendiri tidak dapat memastikan kapan dan bagaimana dia akan terbuka?

Sejak awal SMA aku memutuskan untuk tidak menjalin status dengan siapapun. Memang wajar untuk remaja saling menyimpan perasaan. Untukku juga, tapi tidak akan sampai menjalin status. Itu bisa mengganggu fokusku untuk meraih tujuan yang ku pupuk bertahun lamanya. Dia tahu itu. Dia selalu ingin memberi. Masih teringat saat dia menaruh boneka kelinci dengan diam-diam ke dalam tasku saat camp olimp. Lucu sekali. Tapi terima kasih ^^ Dia selalu ingin memberi tanpa meminta. Karena dia tahu aku tidak akan bisa. Yang dia ingin hanya perasaan yang sama seperti yang dia rasa. Dan inilah masalahnya. Aku dan perasaanku sendiri..

Bulan Mei.
Di bulan itu, karena suatu kegiatan, dia pergi ke luar negeri untuk 2 minggu. Satu kalimat yang aku ingat ketika aku menggodanya.
"Hayoo, ngapain ke mall segala? Cari cewek yaa?"
"Udah aku bilang berapa kali, aku sayangnya kan sama kamu.Ngapain cari cewek lagi?"
Satu ruang di hati ini lega mendengarnya, meskipun aku tidak yakin apakah aku punya perasaan yang sama dengannya. Di hari keberangkatan, dia sempat berpamitan via sms, tapi aku tidak sempat membalas (sibuk SEMESTA Day saat itu) hingga pesawatnya lepas landas. Agak merasa bersalah sebenarnya, tapi aku harap dia baik-baik saja.
2 minggu, 3 minggu, 4 minggu, tetap tak ada kabar. Was-was. Bingung. Sedih. Bercampur. Rasa-rasanya aku paham apa kata orang bijak. Kita butuh waktu untuk mengerti perasaan kita sendiri, memaknai arti kata kehilangan saat orang itu tidak ada. Dan sepertinya, rasa itu mulai ada. Disini.

OSP tinggal 3 hari. Aku sakit. Aku menelepon rumah. Ternyata bapak juga sedang sakit. Aku tanya sakit apa. Bapak hanya berkata masuk angin biasa, tapi aku tidak yakin. Di akhir percakapan, Ibu akhirnya berpesan agar aku cepat pulang seselesainya OSP, ada hal kecil yang ingin dibicarakan. Bagaimana mungkin hal itu kecil jika aku harus cepat-cepat pulang deminya? Semakin kacau saja pikiranku dibuatnya..
Aku tutup teleponku, ku lihat ada satu pesan. Dia.
"Katanya kamu sakit? Cepet sembuh ya. Mau OSP kok malah sakit sih?"
Simple, tapi cukup untuk meredakan pikiran yang tadi sempat bergejolak.

Aku bertemu dengannya di Semarang saat OSP. Kami berbicara seperti biasa, berhubungan kembali seperti biasa, dan saling menyemangati seperti biasa. Tapi, rasa-rasanya ada yang lain. Aku tidak tahu. Ada yang berbeda dari dia.

OSP selesai. Aku pulang. Ibu memang berbohong tentang hal kecil tadi. Sakit bapak kambuh. Sepertinya bapak harus dioperasi. Jadi 4 hari lalu, bapak berbohong hanya agar aku tetap fokus. Bapak sudah sakit sejak aku awal SD. Kadang-kadang kambuh, jarang sebenarnya, tapi sekalinya kambuh, aku tidak pernah tega. Bisa membayangkan orang yang kau pikir pria paling tangguh yang pernah kamu temui merintih menahan sakitnya? Aku tidak sanggup. Dari dulu sampai sekarang aku tidak sanggup. Bapak harus dioperasi. Secepatnya.

Senin, 16 September 2013

Kangen

Nggak kerasa udah setengah tahun lebih blog ini ku telantarkan.. Salah akunya sih yang kebanyakan rempong, riweuh dan nggak fokus ngejalanin macem-macem hal. Jadi keteteran semuanya malah. Yang penting, semuanya udah lewat kan? Dan hari esok menantiiii... Maaf ya, blog sayang, besok-besok aku isi lagi deh. Tapi kalo pas bener-bener free biar nggak ngaco post nya ^^
Sekarang belum mau nulis apa-apa sih, cuman mau temu kangen aja. Banyak banget hal yang terjadi selama 6 bulan ini, liburan juga menyenangkan, sayangnya aku masih belum merangkai kata untuk ku tuangkan dalam lembaran dunia maya ini #asek
Well, good night and sweet dream..
Dua penghuni kasurku udah siap menemani waktu istirahatku nih, salam hangat dari mereka, Koko dan Mumu :)