Laman

Senin, 30 September 2013

Suatu Hari di Bulan September (4) - end

Dalam perjalanan pulang, "nduk, pilek?"
"Nggih, pak, Dian rada meler". Tanpa disadari air mata ini masih juga menetes. Aku harap bapak tidak curiga. Entah sudah berapa kali di tahun ini aku menangis. Maaf.. maaf..

Oktober. Dua bulan lagi, tahun berganti. Apakah tahun ini akan ku tutup dengan tangis juga? Aku harap tidak. Dan nyatanya memang tidak. Merenung memang hal yang baik. Untuk berintrospeksi, untuk bersyukur dan menerima masukan serta motivasi dari orang-orang yang senantiasa kau sebut keluarga. Hari itu, aku merasa lebih baik. Bisa jadi sangat baik. Mungkin.

Rutinitas di sekolah harus kembali dijalani. Kali ini aku harus kembali menjadi aku. Aku yang semangat. Aku yang kuat. Aku yang tidak pernah menyerah.

Aku sadar tidak ada gunanya menyalahkan diri terus-menerus, apalagi sampai berakibat kehilangan fokus dan motivasi.
Aku sadar tidak ada gunanya merasa disakiti hanya karena suatu hal kecil. Apalagi sampai membuatku merasa terbebani, emosional dan berpikiran negatif kepada orang.
Aku sadar tidak ada gunanya merasa sedih. Apalagi kesedihan berkelanjutan yang membuatku malas dan merasa takdir tidak memihakku.

Aku gagal? Ya. Salahku? Ya. Lalu kenapa tidak mau mengakui kelemahan diri sendiri? Belajar menerima apa yang seharusnya kita terima. Itu yang seharusnya aku lakukan. Kecewa? Sedih? Boleh, tentu saja boleh. Itu naluriah.. Yang tidak wajar adalah penyesalan yang berlebihan. Jadi, aku harus berhenti menyesal, dan bangun menyambut masa depan.
Dan disini aku sekarang. Berdiri jauh lebih tegak. Menatap jauh ke depan. Menghargai takdir sebagaimana mestinya. Dan sangat bersyukur masih memiliki orang-orang yang mendukungku. Keluargaku. Teman-teman di asrama. Teman-teman olimpiade. Teman-teman kecilku.

Sedikit demi sedikit, aku pulih. Akhir tahun mulai dekat. Rasa-rasanya Dian sudah kembali menjadi Dian. Terus berjuang di dunia matematikanya dan berusaha bersaing meski selalu dengan status ,"the only girl'. Tidak terkecuali saat itu. Saat camp olimp diselenggarakan di sekolahku. Kelas matematika SMA, dipisahkan menjadi dua. Kelas 11 dan kelas 9-10. Tentunya aku ada di kelas yang pertama. Kelas yang hanya berisi 6 orang (atau 7?), dengan aku satu-satunya perempuan (seperti biasa) dan yang lain teman-teman sainganku di olimpiade (termasuk trio Semesta, partnerku). Bersaing? Sangat. Dari keenam orang ini, semuanya terlibat di OSN, dan bahkan 4 di antaranya anak pelatnas. Termasuk dia yang dari kemarin ku singgung.
Bagaimana perasaanmu sekarang, Dian? Aku baik-baik saja. Segalanya terasa baik saat ini. Tidak ada lagi sakit hati, tidak ada lagi sesak. Aku pulih. Tentu saja aku pulih..

Hari-hari kemudian membuatku lebih semangat. Walaupun tidak jarang aku masih sering terjatuh. Tapi bukankah jatuh dan sakit itu bagian dari tumbuh? Hidup 'kan proses. Selalu ada di atas dan di bawah.. Yang penting, kita tetap berusaha untuk melaluinya dengan baik.

Untuk sahabat yang menjadi tujuanku menulis ini, tetap semangat yaa.. Masa lalu tidak harus dilupakan, hanya saja relakan.. Jangan terlalu sering berduka, berduka itu menjauhkan hatimu dari kejernihan. Jangan berpikir, sekali gagal berarti memang bukan jalanmu. Kadang butuh tenaga ekstra untuk mendapatkan yang kau mau. Kalaupun pada akhirnya tidak bisa tercapai, pasti ada hal lain yang jauh lebih istimewa yang kamu dapatkan selama menjalani proses. Dan satu lagi, jangan pernah memikirkan pantas atau tidak pantas saat kau mendapatkan kesempatan emas. Just grab it, and give your best.. Kalau menunggu pantas, mungkin kita tidak akan menjadi apa-apa sampai tua nanti..

Dan untuk dia yang aku singgung-singgung dalam tulisan ini. Yang aku harap tidak pernah membaca tulisanku, tapi malah sebaliknya yang terjadi. Terima kasih telah membiarkanku mengetahui jawaban atas pertanyaan, "kenapa nggak pernah bilang".. Pembicaraan beberapa hari lalu cukup membuat lega karena akhirnya aku tahu alasan mengapa ada hal yang 'berbeda' darimu yang menghantui pemikiranku beberapa tahun yang lalu (tidak perlu diceritakan 'kan isinya?) Dan sekali lagi terima kasih telah membiarkan aku tahu. Maaf kalau aku bahkan jarang menanyakan apa permasalahanmu dulu. Memang aku terlalu apatis saat itu. Tapi, yang jelas, sekarang semuanya sudah berlalu. . Meskipun sudah bertahun-tahun tidak bertemu, kita masih teman 'kan? *bukanmoduslho

Di suatu novel yang pernah ku baca, ada kalimat.. Hidup yang tenang bukanlah saat kau melupakan masa lalumu, melupakan pahitnya kenangan-kenangan lamamu, tapi saat kau bisa berdamai dengannya. Berdamai dengan masa lalu. Kapankah itu? Saat kau bisa mengingat saat-saat beratmu -yang dulu kau ingat sambil menangis- dengan tersenyum, dengan tertawa. Dan ya, aku berhasil melakukannya. Berdamai dengan masa laluku.. Aku bisa. Itu berarti, kamu juga bisa. :)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

apa apa isi pembicaraannya?