Laman

Senin, 30 September 2013

Suatu Hari di Bulan September (3)

bunyi chat masuk*
"Maaf..."
"Maaf kenapa?"
"Kamu tau kok."
"Oh, cewek itu?"
"Iya, maaf.. "
"Nggak papa, kamu juga punya hak. Emang sejak kapan?"
"Sejak camp olimp, disitu aku ngerasa kamu belum bisa buka hati buat aku. Dan di saat yang sama dia hadir dan ngasih perhatian lebih ke aku.."
"Kenapa nggak bilang dari dulu?"
"Aku cuma nggak pengen nyakitin kamu."
. . . . .
("Harusnya kamu bilang aja dari dulu.")
. . . . .
Punya hak aku bilang? Memang. Bukankah dia tidak pernah punya ikatan apa pun denganku? Hati kecilku ingin memarahinya. Ingin berkata, "kamu jahat". Tapi tidak bisa. Mana mungkin aku bisa?

Pembicaraan terhenti sesaat, tapi kemudian dia mengganti topik seakan tidak ada yang pernah terjadi. Sebenarnya sakit.. Haruskah aku menangis? Belum. Aku masih bisa tahan.
Tidak lama kemudian saat aku masih mencari-cari data dan belum sempat menyimpannya, tiba-tiba..
Gelap. "Ah, mati iki listrike..", teriak seseorang dari luar.
Damn. Tugaskuuuu.. Aku bergegas keluar untuk membayar dan ingin cepat pulang. Jengkel berkali-kali lipat -_-
Selesai membayar, aku berbalik badan menuju pintu keluar. Seperti biasa, aku tengak-tengok ke arah bilik warnet (tidak pernah ada maksudnya, hanya kebiasaan).
Di bilik dekat pintu keluar, aku menengok tepat saat seseorang di dalamnya menengok ke arahku. Dia. Aku bingung, kaget, speechless. Akhirnya aku hanya tersenyum kaku, menyapa sesaat dan cepat-cepat pergi. Kali ini aku benar-benar ingin cepat menghilang dari tempat ini. Aku berjalan pulang tanpa menengok ke belakang. Aku tidak ingin melihatnya sekarang meskipun hanya dari belakang.

Waktu menunjukkan pukul 3 sore. Aku solat lalu bersiap-siap berangkat ke rumah guruku. Itu sudah kegiatan rutin pengisi liburan untukku. Sampai disana, guruku menyambutku sambil berkata, "kene, nduk, lungguh kene. Sebelahe ****** ki kosong, lungguh kene wae ya.."
Apa bu? Jadi dia disini? Dan aku harus bersebelahan dengannya? Seharusnya aku tidak datang hari ini.. Aku tidak banyak bicara, hanya mendengarkan cerita teman-teman sambil sesekali tersenyum. Aneh. Semuanya terasa aneh. Seperti sudah ada batasan di antara kami.
Akhirnya, aku pamit pulang sebelum azan magrib tiba. Aku berjalan sendirian sambil memikirkan berbagai hal. Sakitnya masih terasa.. Bisakah aku menangis sekarang? Tidak, aku masih kuat.

Sampai di rumah aku berbuka dan beraktivitas seperti biasa. Aku dan keluargaku biasa solat tarawih di masjid dekat rumah. Setidaknya solat bisa menenangkan hati. Dan aku butuh itu. Aku dan keluargaku berangkat ke masjid. Masjid yang kami datangi menempatkan posisi belakang untuk jamaah wanita dan depan untuk pria, dibatasi oleh sekat transparan di tengah-tengahnya. Kata ibu, itu bermanfaat. Karena ibu bisa mengontrol tingkah laku adikku yang solat di depan -_-
Di tengah-tengah jeda solat tarawih, ibu tiba-tiba bilang, "nduk, ibu kok koyo kenal bocah kae, ndak ora ******?" *sambil melirik seseorang di depan?"
Sekilas aku perhatikan depan. Memang dia.. lagi.. Sudah, Tuhan, lelah aku dengan hari ini.
Hari ini sangat konyol. Terlalu konyol untuk aku lalui. Aku tidak pernah berfikir hariku bisa seburuk cerita sinetron. Tapi kenapa ternyata justru hari ini semuanya serba kebetulan. Buruk, hari yang buruk.
Konyol, tapi tetap saja sakit..

Sampai di rumah, tanpa banyak basa-basi aku masuk ke kamar. Ku kunci rapat-rapat. Kali ini aku benar-benar ingin sendirian. Dan sewajarnya orang lain, sendirian berarti saatnya pikiran ini berkecamuk di kepalaku.
Tentang semua cobaan, kegagalan, ketidakberuntunganku, semuanya..
Masih bertahan untuk tidak menangis? Kali ini aku kalah. Kalah terhadap emosiku sendiri.

Waktu berjalan dan berjalan. H+7 lebaran terlewati.. Saatnya kembali ke sekolah, saatnya kembali ke kelas yang selama setahun ini hanya aku masuki kurang dari 3 bulan (sisanya di perpus, atau bahkan tidak di Semesta). Sudah membaikkah kabarmu, Dian?
Tidak juga, kadang masih emosi melihat orang-orang yang sudah menghinaku, kadang juga merasa sangat bodoh karena telah mengecewakan banyak orang.. Bisa tersenyum? Kadang. Tidak banyak yang bisa menghiburku saat itu, kecuali keluargaku sendiri.
Dia? Jangan tanya. Aku meneruskan hidupku. Dia meneruskan hidupnya. Sejak hari itu, aku tahu hal yang paling baik adalah menjaga jarak dan membiarkan semua berlalu, tanpa merasa pernah terjadi apa-apa.

Seminggu berjalan, datang surat yang beralamat kepadaku. Panggilan pelatnas. Masih ada kesempatan, batinku. Mencoba memupuk semangat, seharusnya aku bisa lebih baik sekarang. Seharusnya..

Aku lupa. Sangat lupa.. jika ternyata dia juga ikut. Hmm, cobaan dua kali lipat. Bisa membayangkan berusaha melupakan orang, tapi setiap hari selama sebulan penuh harus bertemu dengan orang tersebut? Bahkan beraktivitas bersama? Makan, belajar, dari jam 8 pagi sampai sekitar pukul 10 malam? Setiap hari? Itu susaaaaahhh... Masih sakit bahkan, asal kau tahu.
Dan kabar buruknya lagi, kesehatan bapak agak drop lagi. Satu hal lagi, ternyata aku belum berhasil memupuk semangatku. Salah-salah, akibatnya malah aku kehilangan fokus dan segalanya buyar.
Boro-boro bisa lolos ke tahap selanjutnya, hasil tesku justru merosot jauh.. Peringkatku tahun ini lebih menyedihkan dibanding tahun lalu. Dan di saat yang sama, teman seperjuanganku sejak pelatnas sebelumnya justru tiba-tiba mendewi dan melejit ke babak selanjutnya.
Kecewa? Sangaaat. Saat itu.

Sebulan akhirnya berlalu. Jogja, terimakasih dua tahun ini memberikan pengalaman baru, meskipun hasilku jauh dari cukup..
Bapak agak membaik. Sebelum kembali ke sekolah, aku ingin pulang. Ingin bersama bapak, ibu, semuanya. Aku bilang akan pulang naik travel. Bapak tidak mengijinkan. Beliau justru ngotot ingin menjemputku ke Jogja dengan motor tersayang.. Mana mungkin aku tega? Tapi berdebat dengan bapak memang sudah dapat ditebak hasilnya. Akhirnya, bapak benar-benar sampai Jogja dengan motornya seusai penutupan pelatnas berakhir.

Siang itu, aku berjalan menuju kamar usai penutupan. Beliau berdiri di kejauhan, kemudian berjalan menghampiriku sambil tersenyum ,"ayo, nduk".. Langsung ku peluk beliau, kemudian bergegas ke kamar mengemasi barang. Hanya berkemas? Tidak, berkemas sambil menangis, iya.. Haru, sedih, bersalah. Haru, melihat beliau berdiri tegak, sehat, tersenyum di depanku. Sedih, mengingat dalam keadaan yang belum pulih benar, beliau mengorbankan diri menjemputku. Bersalah, menyadari dalam umurku yang sudah sebesar ini masih saja merepotkan dan belum bisa memberi yang terbaik.
Tuhan, selagi masih ada kesempatan, izinkan hamba-Mu yang kurang bersyukur ini membahagiakan orang lain. Setidaknya kedua orang tuanya sendiri.. Izinkan, Tuhan..

0 komentar: