Laman

Jumat, 20 September 2013

Suatu Hari di Bulan September (1)

Weekend mendekat, sayang masih ada satu tugas dari dosen yang belum ku selesaikan. Suntuk sekali rasanya, malas melakukan apapuunnn. Sembari menunggu mood membaik, aku iseng membaca-baca blog teman-temanku. Aku terhenti di salah satu post di blog seorang kawan.

Seorang gadis periang, adik kelas sekaligus salah satu sahabatku. Dalam tulisannya, aku tahu saat itu masih sulit baginya untuk bangkit ketika ia baru saja terjatuh (lagi) sedangkan teman-temannya melaju dalam bidang yang dulu menjadi masa lalunya.. Dia sering bercerita padaku, tentang kehidupannya, tentang hati, tentang seseorang yang pernah singgah disana dan keinginannya untuk melupakan semua.. Aku tidak pernah bisa membantunya lebih dari menghibur dan sekedar memberi saran, meskipun aku pikir itu tidak cukup. Yang ingin aku sampaikan sekarang adalah.. Aku juga pernah jatuh, dan menangis. Meskipun dalam hal yang berbeda, aku juga pernah merasakan sedikit dari yang dia rasakan. Kau tidak sendirian, kawan. Kamu tidak harus melupakan masa lalu. Hanya saja, coba relakan..

Luka tidak selalu hilang seutuhnya. Bekas luka tak selamanya buruk. Bekas luka bisa mengingatkanmu bahwa kau pernah berada dalam situasi yang tidak menyenangkan, tapi kau berhasil melewatinya..
Sepertiku.. Yang berhasil melewatinya. Melewati suatu hari di bulan September. 2009.

*bunyi chat masuk*
"Maaf.."
"Maaf kenapa?"
"Kamu tau kok"
"Oh, cewek itu?"
"Iya, maaf.."
"Nggak papa, kamu juga punya hak. Emang sejak kapan"
"Sejak camp olimp, disitu aku ngerasa kamu belum bisa buka hati buat aku. Dan di saat yang sama dia hadir dan ngasih perhatian lebih ke aku."
"Kenapa nggak bilang dari dulu?"
"Aku cuma nggak pengen nyakitin kamu"
                . . . . . . . .

Kembali ke tahun 2009

2009 tahun yang menyenangkan, tahun penuh keberuntungan, penuh kebahagiaan. Semuanya baik-baik saja.. Setidaknya itu hal yang aku rasakan sejak awal tahun hingga mendekati pertengahan tahun.

Aku siswi olimpiade di sekolahku. Artinya, ketika semester genap dimulai, aku harus keluar dari kelas, stay di perpustakaan dan menjalankan rutinitas baru. Self study. Berbekal buku dan soal-soal yang dimiliki, kami berbagi ilmu dan belajar bersama. Monoton mungkin. Tapi menyenangkan saat kami menjalaninya dengan tertawa. Lagipula, berbagai bidang pelajaran ada disini, bukankah itu justru berwarna? Tak jarang pula beberapa dari kami mengikuti kompetisi-kompetisi regional. Lumayan lah untuk latihan, pikir kami. Herannya, entah mengapa, tiap kali mengikuti kompetisi, aku selalu beruntung. Seakan semua terasa mudah..

Semuanya baik-baik saja. Kehidupanku baik-baik saja. Teman-teman selalu bersamaku. Juga 'dia'..

'Dia' orang yang telah ku kenal 4 tahun lamanya saat itu. Partner sekaligus sainganku 3 tahun terakhir. Dan orang yang sangat dekat denganku setahun terakhir. 'Dia' orang yang misterius tapi pengertian. Selalu ada, selalu menyemangati dan selalu menghargaiku. Orang yang merasa bahwa akulah yang membuatnya berubah (meski aku tak pernah merasa melakukan apapun). Orang yang romantis dengan caranya sendiri..
Sebelumnya, di masa-masa akhir SMP, dia menghilang. Entah pergi kemana. Tak pernah batang hidungnya muncul. Lost contact. Aku pikir itu akhir. Lagi-lagi, salah satu sahabatku raib dari hidupku. Tapi ternyata, di bulan pertama menjadi murid SMA, dia muncul kembali. Ternyata dia bersekolah di tempat yang sangat familiar di telingaku. Aku tidak tahu ada apa, yang jelas ada yang berbeda saat itu. Dan cerita kami berlanjut sejak saat itu..

----------
Terhenti sejenak. Batasan hari terlewat. Tapi aku tak bisa berhenti menuliskan ini. Semuanya mengalir. Ada kalanya memori mengalir begitu saja. Dan itu yang aku alami saat ini..

----------
Ada yang berbeda. Tapi akhirnya aku tahu apa itu. Dia akhirnya mengatakan alasannya datang kembali ke kehidupanku. Rasa bingung dan heran malah membuatku hanya terdiam.. Tidakkah dia tahu pintu ini tertutup terlalu rapat dan bahkan aku sendiri tidak dapat memastikan kapan dan bagaimana dia akan terbuka?

Sejak awal SMA aku memutuskan untuk tidak menjalin status dengan siapapun. Memang wajar untuk remaja saling menyimpan perasaan. Untukku juga, tapi tidak akan sampai menjalin status. Itu bisa mengganggu fokusku untuk meraih tujuan yang ku pupuk bertahun lamanya. Dia tahu itu. Dia selalu ingin memberi. Masih teringat saat dia menaruh boneka kelinci dengan diam-diam ke dalam tasku saat camp olimp. Lucu sekali. Tapi terima kasih ^^ Dia selalu ingin memberi tanpa meminta. Karena dia tahu aku tidak akan bisa. Yang dia ingin hanya perasaan yang sama seperti yang dia rasa. Dan inilah masalahnya. Aku dan perasaanku sendiri..

Bulan Mei.
Di bulan itu, karena suatu kegiatan, dia pergi ke luar negeri untuk 2 minggu. Satu kalimat yang aku ingat ketika aku menggodanya.
"Hayoo, ngapain ke mall segala? Cari cewek yaa?"
"Udah aku bilang berapa kali, aku sayangnya kan sama kamu.Ngapain cari cewek lagi?"
Satu ruang di hati ini lega mendengarnya, meskipun aku tidak yakin apakah aku punya perasaan yang sama dengannya. Di hari keberangkatan, dia sempat berpamitan via sms, tapi aku tidak sempat membalas (sibuk SEMESTA Day saat itu) hingga pesawatnya lepas landas. Agak merasa bersalah sebenarnya, tapi aku harap dia baik-baik saja.
2 minggu, 3 minggu, 4 minggu, tetap tak ada kabar. Was-was. Bingung. Sedih. Bercampur. Rasa-rasanya aku paham apa kata orang bijak. Kita butuh waktu untuk mengerti perasaan kita sendiri, memaknai arti kata kehilangan saat orang itu tidak ada. Dan sepertinya, rasa itu mulai ada. Disini.

OSP tinggal 3 hari. Aku sakit. Aku menelepon rumah. Ternyata bapak juga sedang sakit. Aku tanya sakit apa. Bapak hanya berkata masuk angin biasa, tapi aku tidak yakin. Di akhir percakapan, Ibu akhirnya berpesan agar aku cepat pulang seselesainya OSP, ada hal kecil yang ingin dibicarakan. Bagaimana mungkin hal itu kecil jika aku harus cepat-cepat pulang deminya? Semakin kacau saja pikiranku dibuatnya..
Aku tutup teleponku, ku lihat ada satu pesan. Dia.
"Katanya kamu sakit? Cepet sembuh ya. Mau OSP kok malah sakit sih?"
Simple, tapi cukup untuk meredakan pikiran yang tadi sempat bergejolak.

Aku bertemu dengannya di Semarang saat OSP. Kami berbicara seperti biasa, berhubungan kembali seperti biasa, dan saling menyemangati seperti biasa. Tapi, rasa-rasanya ada yang lain. Aku tidak tahu. Ada yang berbeda dari dia.

OSP selesai. Aku pulang. Ibu memang berbohong tentang hal kecil tadi. Sakit bapak kambuh. Sepertinya bapak harus dioperasi. Jadi 4 hari lalu, bapak berbohong hanya agar aku tetap fokus. Bapak sudah sakit sejak aku awal SD. Kadang-kadang kambuh, jarang sebenarnya, tapi sekalinya kambuh, aku tidak pernah tega. Bisa membayangkan orang yang kau pikir pria paling tangguh yang pernah kamu temui merintih menahan sakitnya? Aku tidak sanggup. Dari dulu sampai sekarang aku tidak sanggup. Bapak harus dioperasi. Secepatnya.

0 komentar: