Laman

Sabtu, 21 September 2013

Suatu Hari di Bulan September (2)

Untuk pertama kalinya di tahun ini, tangisku pecah. Aku tahu tidak mungkin bapak kambuh beberapa hari terakhir. Pasti sudah lama, hanya saja semua merahasiakannya dariku. Berat ya, Tuhan. Maaf kalau keadaan Dian yang jauh dari rumah justru membuat bapak ibu menahan beban. Maaf..
Ruang hampa di dalam batinku terisi. Terisi sebuah kesedihan dan rasa bersalah.

Aku tidak menceritakan hal ini kepada siapapun. Kecuali dia. Dia selalu bilang, "kita harus jadi orang bener, inget orang tua di rumah, aku juga nggak pengen bikin umi nangis lagi".
Dan tiap kali dia pulang naik bus melintasi pangkalan ojek dekat rumah dia selalu bilang, "dian tetep semangat ya, kasian bapak kerja sampe malem".
Dan karena dia satu-satunya yang tahu bapak dirawat, dia yang selalu menghiburku. Meski tidak bisa menjenguk langsung, tak apa, aku juga tahu dia sibuk.

Sebulan dari masa libur telah berlalu. Bapak sudah keluar dari RS jauh-jauh hari. Alhamdulillah sehat.
Hal yang aku tunggu-tunggu datang. Pengumuman OSN. Kami lolos. Sebelum berangkat ke tingkat nasional, kami mengikuti pelatihan selama sebulan di Salatiga. Dan sebelumnya, tentunya ada yang harus diurus dulu di sekolah.
Bertemu Kepsek dan GM malah membuatku terbebani. Aku dan seorang kakak kelasku diwanti-wanti harus mendapat emas. Alasannya? Karena di tahun sebelumnya kami sudah ikut dan memperoleh hasil yang lumayan. Jadi beban tahun ini, kami yang harus memanggul paling berat. Sayangnya, seperti yang aku bilang. Kehidupanku sebelumnya terasa mudah. Aku mungkin berhasil mendapat gelar terbaik selama ini. Tapi apa aku pantas? Pertanyaan ini bersemayam di kepalaku dan buruknya, mengganggu kinerjanya..

Sebulan mengikuti pelatihan, aku merasa kehilangan fokus, ada beban, ada yang salah denganku. Dia tetap di sisiku. Menyemangatiku, yang masih berkutat dengan permasalahan pantas tak pantas. Dia tetap baik. Suatu siang bahkan, saat sesi belajar siang dimulai, dia masuk sambil agak salah tingkah memberikan bungkusan. Coklat dan es krim :) Alasannya hanya karena aku terlihat murung seharian. Fyi, wisma yang kami tinggali jauh dari keramaian. Mencari warung kecil dekat situ pun agak susah.
Teman sekamarku (yang juga temannya) mengetahui hal ini dan kemudian menyeletuk, "udah sih, Day, terima ajaaa. Itu udah romantis bangeeett ". Entah. Masih ada yang berbeda darinya yang tidak aku mengerti...

OSN tiba dan dengan cepatnya berlalu. Hasilnya, kontras dengan hasilku yang lalu-lalu. Hasilku.. jauh dari emas. Sakit, sedih, kecewa. Aku telah mengecewakan banyak orang. Pihak sekolah, pihak dinas provinsi, banyak.. Aku merasa menjadi orang yang sangat konyol. Hal yang berat adalah saat menyadari dirimu tidak mampu memberikan yang terbaik, gagal memenuhi harapan besar orang-orang terdekatmu, padahal kesempatan cukup lebar. Sedihnya lagi, kegagalan tadi hanya disebabkan oleh labilnya emosiku. Mempermasalahkan kepantasan..
Sekarang aku bisa apa? Memaki? Marah? Bukan. Lagi-lagi aku hanya bisa menangis. Tangisan keduaku di tahun ini. Tangis yang kembali mengisi ruang batinku.
Dia? Dia memperoleh hasil yang sama denganku, beberapa peringkat di bawahku. Hasil yang baik untuk kesempatannya yang pertama. Dia tersenyum sambil berusaha menghiburku.
"Kita masih bisa pelatnas kok. Ayo semangat! "
"Iya sih, kamu mau ngejar IMO apa ngejar lagi di Medan?"
"IMO dooonngg..." *tertawa*
*tersenyum* "Aku ke Medan aja taun depan" (sepertinya dia tidak mendengar)

Kami pulang. Mendapat cuti seminggu sebelum kembali menjalani kehidupan 'normal' lagi aku rasa layak untuk kami. Waktu yang cukup untuk me-refresh otak kembali dan mempersiapkan diri. Dan yang utama bagiku, berusaha mengurangi rasa bersalah atas kegagalan ini.
Kegagalan kami, terutama aku, berdampak ke teman-teman olimpiade di sekolah. Di satu hari saat kami masih cuti, siswa-siswi olimpiade dikumpulkan oleh GM kami. Beliau marah. Marah besar. Yang lebih menyakitkan saat mendengar cerita itu adalah penghinaan beliau.
"Ini kenapa ya tahun ini tidak ada yang mendapat emas?
Kenapa malah banyak yang dapatnya hanya perunggu?
Perunggu itu apa? Ini. " *menunjuk pegangan pintu*
"Perunggu itu bukan prestasi."
Aku memang tidak berada di tempat saat itu. Tapi mendengarnya saja sudah cukup menyakitkan. Kemarahan yang paling besar bukan saat kamu balas memarahi atau mengucap sumpah serapah
Tapi saat kamu tidak sanggup berkata-kata, hanya air mata yang mengalir. Dan itu yang terjadi padaku. Tangis ketiga di tahun ini. Tiga kali sudah terlalu banyak. Tapi aku masih bisa menahannya. Aku masih mampu.
Aku sebenarnya masih dongkol. Tidak masalah sebenarnya beliau marah, tapi setidaknya jangan menghina. Mungkin bukan hal besar untuk beliau. Tapi itu aku peroleh dengan seluruh usaha yang aku keluarkan. Aku sudah cukup marah kepada diriku sendiri. Apa harus aku marah juga pada beliau? Apa itu penting?

Di sela-sela cuti aku sempatkan mengunjungi guru SMP-ku. Biasanya itu menjadi tempat berkumpul adik-adik kelas dan alumni. Aku ingin bertemu teman-temanku, siapa tahu bisa mengurangi beban hati.
Aku duduk bersama dua adik kelasku. Mereka teman yang baik. Sangat baik. Kami mengobrol banyak. Hingga akhirnya pembicaraan menyerempet tentang dia.
"Eh, mbak tau nggak temen deketnya ******?"
"Nggak, emang ada gitu? Siapa e?"
"Ada, anak ******" *menyebut suatu nama daerah*
"Oalah nggak ngerti aku malah.."
Teman dekat? Sedekat apa? Itu siapa? Kenapa aku tidak pernah tahu?
Aku curiga, mungkin itu sebabnya dia terasa berbeda. Mungkin. Aku belum bisa bertanya padanya. Ada waktunya nanti. Sampai saat itu datang, aku harus bersikap sewajarnya.. Semangatku masih belum kembali, tapi justru beban di hatiku bertambah. Satu lagi...

Bulan puasa tiba, September pun tiba.. Hari masih terasa berat. Aku masih sering termenung, melamun, menangis.. Teman-teman hanya bisa prihatin. Hiburan macam apa pun sudah tidak mempan bagiku. Dia masih menjalin komunikasi denganku. Tapi rasanya semakin hambar. Aku berusaha bertindak wajar. Tapi sulit..

Akhirnya, libur lebaran dimulai. Seburuk apapun harimu, pulang adalah hal paling menyenangkan. Berada di tengah orang-orang yang tidak akan pernah meninggalkanmu sendirian. Menyenangkan.

Sayang libur tidak sepenuhnya libur. Masih saja ada tugas. Dan karena saat itu laptop dan modem masih menjadi benda asing, aku harus ke warnet untuk mencari data-data.
Siang itu aku pergi bermodal flashdisk dan uang 10 ribu di saku. Sewajarnya orang lain, sambil mencari data, sambil online media sosial. Waktunya tiba. Hari itu. Suatu hari di bulan September yang menjadi puncak rasa sakitku di tahun tersebut..

0 komentar: