Laman

Selasa, 27 Maret 2012

Arti Kata Guru Untukku (part 2)

      Kali ini guru yang aku maksud adalah guru yang memang seorang guru. Guru yang sudah semestinya mengajarkan hal-hal baik kepada para muridnya.
    Beliau adalah guruku semasa SMP.
Guru yang tangguh, berkemauan keras dan berkeyakinan kuat, yang terkadang tak kuasa menahan egonya sendiri.
  Tapi Ibu seorang guru yang istimewa..
Ibu bukan sekedar guru tapi Ibu benar-benar 'ibu' bagi kami.
      Tahukah kalian berapa orang yang telah Ibu bantu dalam melanjutkan sekolahnya? Aku bahkan tidak mau menghitung, Ibu terlalu banyak membantu orang. Entah dengan cara beliau membiayai sendiri biaya sekolah anak-anak itu atau beliau membantu mencari beasiswa ke sekolah-sekolah berkualitas yang sekiranya mau membantu anak-anak desa yang kesulitan bersekolah ini.
  Aku salah satu dari anak-anak desa yang beruntung karena telah bertemu Ibu dan akhirnya bisa mendapat pendidikan hingga jenjang ini.
     Dulu, aku tidak pernah berpikir akan kuliah. Jangankan kuliah, aku pun tidak membayangkan akan melanjutkan di SMA. Yang aku bayangkan adalah aku lulus SMP dan melanjutkan ke SMK. Kenapa? Jika aku di SMK, bapak tidak akan mengeluarkan uang sebanyak di SMA, lagipula aku ingin cepat bekerja agar beban bapak-ibu sedikitnya bisa berkurang.
Tapi, di SMP semua berubah. Ibu adalah guruku. Ibu suka anak yang pintar. Anak cerdas. Karena Ibu akan mudah membimbingnya, sehingga dia bisa sukses olimpiade. Kenapa harus olimpiade? Setidaknya dengan itu jalan ke depan bisa terbuka lebih lebar dan lebih terang daripada hanya sekedar 'pintar di sekolah'.
  Aku bukan anak pintar. Aku hanya anak yang bisa lebih dari rata-rata. Beruntungnya, Ibu mengajakku bergabung dengan beliau dan memulai semua dari awal.. Belajar bersama teman-teman di rumah ibu. Bahkan tak jarang kami makan disana. Sekarang baru terbayang betapa merepotkannya kami untuk ibu..
      Waktu terus berjalan.. Untuk mencapai sesuatu yang besar, tentu ada saja kerikil-kerikil hingga batu-batu besar yang menghambat jalan kita. Begitu pun aku. Jalan terasa berliku. Setahun berlalu, tak ada yang jauh berbeda.
  Aku jenuh. Aku bosan. Bukankah Ibu bilang aku bisa? Tapi kenapa aku bahkan tidak diberi kesempatan?
Emosi semakin menjadi-jadi. Aku semakin merasa Ibu tidak adil. Ibu membedakanku dengan yang lain. Ibu sering bersikap tak acuh kepadaku. Dan aku benci itu.
  Sewajarnya anak SMP yang juga butuh bersenang-senang, hari Sabtu sepulang sekolah aku pergi bersama kawan-kawanku. Aku tahu hari itu ada bimbingan. Tapi aku memutuskan untuk bolos satu hari. Toh setiap harinya aku berangkat bimbingan. Aku juga butuh menikmati duniaku sendiri.
  Ibu tahu apa yang aku lakukan. Ibu marah. Aku disidang habis-habisan. Hari berikutnya ibu semakin tak acuh. Aku bingung kenapa Ibu begitu marah. Tidakkah Ibu tahu apa yang aku rasakan? Aku hanya butuh sedikit penyegaran. Aku jenuh. Jenuh menunggu dan belajar begitu lama tapi bahkan tidak diberi sedikitpun kesempatan. Tidak diizinkan sedikit saja membuktikan kemampuanku. Ibu yang dulu mengajakku bergabung dengannya tapi kenapa sekarang ibu yang menelantarkan aku?
  Bapak dan ibuku sendiri yang akhirnya menyemangatiku dan membuatku mau bangkit untuk membuktikan apa yang seharusnya aku buktikan.
       Suatu hari, kesempatan itu tiba dan aku mulai berhasil membuktikannya. Aku bisa, Bu, aku bisa...
Ibu mulai peduli padaku dan itu membuatku lebih lega. Seiring jalannya hari, aku bisa menjadi lebih dan lebih baik lagi. Namun mulai ada sesuatu yang mengganjal lagi. Tentang aku dan teman-temanku.
Aku memiliki beberapa teman karib dan setiap kami bersama tiada tawa yang bisa dilewatkan. Kami selalu tersenyum bersama dan saling mendukung satu sama lain. Tapi Ibu tidak suka itu. Ibu selalu bilang, "Terlalu banyak tertawa justru bisa berujung menangis di akhir".Saat pelajaran di kelas, Ibu sering memindah tempat duduk kami agar berjauh-jauhan. Ibu bahkan menyuruh teman-temanku untuk menjauhiku agar aku fokus pada apa yang harus aku lakukan. Tapi maaf, aku tidak bisa. Mereka juga bagian terpenting untukku karena mereka sahabat karibku.
      Hari kian berlalu. Hal-hal itu semakin memudar. Aku bisa memfokuskan diriku bahkan tanpa diminta. Aku sudah bisa berpikir dewasa. Aku mulai bisa menjalani semuanya secara mandiri.
Kini aku mengerti apa yang Ibu lakukan. Kenapa-kenapa yang semula memenuhi kepala mulai bisa ku jawab sendiri.
  Ibu bukan pilih kasih. Ibu ingin mengoptimalkan mereka yang berkemampuan lebih tinggi. Tapi bukan berarti Ibu tidak memikirkan orang-orang sepertiku. Ada waktunya sendiri untuk kami. Belajar itu harus sabar, bukan instan.
  Ibu bukan tidak mengizinkanku beristirahat dan menikmati waktuku. Ibu ingin aku mengerti arti kerja keras yang sesungguhnya. Orang sukses bukan selalu orang yang pintar, tapi orang yang mau bekerja keras. Dan sekarang aku tahu itu.
  Ibu bukan menelantarkanku. Ibu ingin aku belajar dari kepahitan agar aku bisa bangkit sendiri. Seperti yang kita tahu, untuk mengetes kekuatan sebuah besi kita harus menempa besi itu. Semakin tahan ia ditempa, semakin kuat besi tersebut.
  Tapi, maaf, untuk masalah sahabat. Aku masih tidak mengerti. Mungkin Ibu bermaksud agar aku fokus. Tapi itu bukan cara terbaik. Andai Ibu tahu bahwa teman-temanku adalah penyemangatku dan aku butuh mereka. Dulu saat aku OSN SMP mereka menitipkan surat untukku lewat salah satu guru yang menjengukku di karantina. Dan surat itu membuatku merasa tidak sendiri karena ada mereka yang ikut mendukungku walaupun mereka tidak di dekatku. Bertemu mereka untuk bercanda dan tertawa bersama adalah hal yang selalu aku nantikan setiap hari. Mereka yang selalu menghiburku saat aku jenuh. Mereka yang selalu membantuku berdiri saat aku mulai rapuh. Andai Ibu tahu dipisahkan jauh dari mereka -seperti saat ini- adalah hal berat untukku. Karena kami semakin jarang bertemu dan semakin jarang berkomunikasi. Hari terasa berbeda tanpa mereka. Terkadang aku merindukan mereka tapi aku tahu rasa rindu itu hanya bisa disimpan hingga saat liburan tiba. Mereka orang-orang yang sangat berarti untukku, Bu. Jadi mohon maaf sekali lagi aku tidak mengikuti anjuranmu dalam hal ini.
Tapi sudah sangat jelas untukku bahwa Ibu selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk para muridnya walaupun terkadang caranya kurang cocok. Mungkin karena usia Ibu terpantau relatif jauh dari kami. Terkadang beda generasi juga menunjukkan perbedaan sikap. Seberapapun bedanya, aku selalu berusaha menghargaimu, Bu. Karena tanpa Ibu aku tidak akan mempelajari banyak hal. Terima kasih atas segala yang Ibu beri, Ibu ajarkan dan Ibu tuntut dari kami. Ibu adalah GURU yang hebat. Dan aku BANGGA pernah menjadi MURID dan ANAK mu. Sekali lagi terima kasih untuk Ibu.

0 komentar: