Laman

Kamis, 19 Oktober 2017

Pekerjaan dan Pilihan

I'm back..

Hmm, kadang saya bingung mau isi blog ini dengan apa.
Karena faktanya, kehidupan pasca kuliah itu monoton sekali.
Yang lanjut kuliah ya gitu-gitu aja, thesis lagi, dosen lagi, ujian lagi.
Yang kerja ya kaya gitu, proyek lagi, lembur lagi, escape buat liburan, ketemu senin lagi.
Yang freelance juga, hectic kerja, terus kosong lama, hectic lagi.
Apalagi yang pengangguran, pusing cari kerja tiap hari, dinyinyirin pula.

Oiya, btw, ngomongin kerja nih.
Di post sebelum ini saya nulis sesuatu.
Yang cukup meresahkan beberapa teman.
Karena ngga lama setelah itu jadi pada tanya kabar saya.

Tapi terlepas dari puisi yang kadang saya buat karena iseng,
that time I wrote it based on my situation.
Ngga exactly 'that time' sih situasinya, tapi beberapa waktu sebelum itu.

Saya pernah nulis tentang keluarga saya yang sering dinyinyiri karena status saya yang tidak bekerja.
Saya pengen ralat itu sebenernya.

Saya freelance.
Saya bukan pengangguran, saya bukan tidak bekerja.
Tapi ya itu, susah cerita sama orang awam apa itu freelance.
Karena dalam benak mereka, kalau kerja ya keluar rumah setiap hari, di kantor kek, gedung, sekolah, dsb.
Bahkan mereka pun masih ngga bisa terima kalau ada pekerjaan yang bisa dikerjakan dari rumah. Like I did.
Jadi ya saya diem aja dibilang 'nganggur'.
Dibilang 'kerjanya jarang banget paling beberapa minggu pergi, balik lagi, nganggur lagi'.

Dinyinyirin orang masih bisa tahan sih, tapi kalau keluarga sendiri yang ngomong kan mulai kerasa tuh beratnya.
Saya hidup dengan dua orang tua yang pemikirannya beda.
Kutub utara dan selatan.
Sama-sama dingin sih, penuh salju, jarang kena sinar matahari, tapi tetep aja ada hal fundamental yang ngga bisa disatukan.
Yang satu utara, yang satu selatan.

Beberapa hari terakhir ini, ibu saya jadi sering ceramah.
Disuruh coba cari kerja lah, dibandingin sama dia dulu lah, dibilang musti sadar umur lah.
Saya paham sih, semua ibu pengen lihat anaknya kerja, mapan, sukses, duit banyak, nemu jodoh, cepet nikah dan embel-embel lain.
Tapi kan balik lagi, ada hal tertentu yang ngga isa dipaksain.
Mana zaman sekarang udah super duper beda sama yang dulu.
Saya tahu saya bisa mewujudkan apa yang ibu pengen, tapi dengan jalan yang berbeda.

Well, sebelum pembaca men-judge saya sebagai anak yang durhaka dan tidak tahu diri, let me tell you kehidupan saya seperti apa.
Saya ngga inget sih pernah nulis soal ini atau belum, tapi yaudah lah ya, saya mulai cerita saya.

Keluarga saya bukan keluarga kaya, jadi selama saya sekolah saya selalu mengajukan keringanan biaya.
Saya anak yang normal, normal banget bahkan, sampai saya kelas 5 SD, karena mulai kelas 6 saya mulai diikutkan lomba oleh guru saya. But still, sampai saya lulus SD hidup saya masih normal.

Mulai SMP, seorang guru Fisika berminat membina saya untuk dijadikan tim olimpiade Fisika, tapi kalah bersaing dengan guru Matematika (yang memang powernya jauh lebih besar di sekolah saya).
Dan dengan perjuangan yang ngga mudah saya bisa bertahan dalam tim olimpiade Matematika (cerita lengkap scroll aja terus ke post yang duluuuu banget).
Nah, di masa itulah hidup saya mulai tidak normal.
Saya diharuskan meninggalkan semua ekskul dan fokus belajar matematika.
Setiap pulang sekolah langsung belajar di rumah guru saya sampai sore, kadang bahkan malam.
Di rumah hanya numpang makan, mandi dan tidur.
Jangan tanya soal hobi, saya bahkan lupa hobi saya sendiri, kecuali menyanyi, karena itu yang bisa dilakukan sembari mengerjakan soal.
Itupun nyanyinya 'nggremeng' doang, karena guru saya tidak suka nyanyi-nyanyian.
Kebayang ngga hidup saya?
Saya ngga menyalahkan guru saya.
Saya menyalahkan diri saya sendiri, kok ya mau digituin. Patuh lagi.
Tapi ya mau gimana, diiming-imingi lanjut sekolah gratis kalau juara olimpiade, ya saya tergiur.
Namanya juga miskin.

Di masa SMA, masih suram sih, but everything was better, makanya masa SMA masa paling berharga buat pendidikan formal dan mental saya.
Apalagi hidup di asrama bikin kemampuan adaptasi meningkat drastis.
Saya mulai punya waktu buat baca novel lagi, nulis-nulis lagi, nyanyi-nyanyi dan tentunya ngobrol bermutu sama orang lain (sama Falah ini, jelas).
Saya masih menjadi tim olimpiade.
Kenapa masih? Karena hadiah lomba lumayan kalau dikumpulkan.
Tuh alhamdulillah bisa benerin rumah jadi lebih layak huni.
Tapi saya tetap nonekskul. Karena ngga ada yang menarik menurut saya.
Ekskul tari ada sih, tapi narinya seperti anak TK jadi saya malas ikut.
Ada ekskul bahasa asing juga, tapi suka tiba-tiba libur jadi bikin emosi.
Makanya saya lebih suka di kasur baca novel, ngulik soal, atau ngobrol.
Tapi dengan kegiatan yang lebih bervariasi ini prestasi saya justru lebih baik daripada SMP.
Makanya saya sadar, tidak semua orang punya metode yang sama untuk mendapatkan hasil terbaik.

Di akhir SMA saya mulai pusing kemana saya akan melanjutkan sekolah.
Saya punya banyak minat, karena itu saya membuat daftar berbagai macam jurusan dari berbagai macam instansi yang saya ingin masuki.
Kalau saya punya modal besar, mungkin saya akan ambil beberapa jurusan sekaligus.
Tapi saya tahu, saya tidak akan diizinkan membobol tabungan hanya untuk hal itu.
Akhirnya ibu bilang kalau saya masih ragu, mending lanjut saja di matematika.
Saya nurut.
Alhasil saya kuliah di Matematika ITB.

4 tahun berlalu, banyak yang terjadi selama saya kuliah.
Saya kuliah sambil mengajar paruh waktu.
Saya sibuk mengajar ketika saudara-saudara saya menikah.
Saya sibuk mengajar ketika liburan dimulai.
Saya sibuk mengajar ketika teman-teman kuliah berwisata se-angkatan.
Jangan tanya demi siapa.
Kalau kalian berasal dari keluarga miskin, kalian pasti akan melakukan hal yang sama.
Saya juga kembali menemukan passion-passion dan minat saya.
Seni, matematika, mengajar.
Dan dari pengalaman selama kuliah itu, saya sadar bahwa saya tidak pernah bisa menghasilkan sesuatu yang 'proper' ketika hati saya tidak setuju dengan apa yang saya kerjakan.

Lulus kuliah saya memutuskan untuk tidak mencari pekerjaan tetap.
Saya berpikir setelah sekian tahun saya seakan memforsir diri saya, menjalani kehidupan yang tidak normal, setidaknya kali ini saya mengikuti apa yang hati saya minta.
Saya mendaftar Indonesia Mengajar, salah satu keinginan terpendam sejak awal kuliah. Tapi malang nasib, penyakit mengganggu saya.
Lalu saya mencoba mendaftar beasiswa untuk kuliah lagi. Malang juga, beasiswa tidak tembus, tambah dosbing susah sekali ditemui.
Sehingga lanjut kuliah kemudian tidak lagi menjadi prioritas utama.
Lalu saya banting setir, mencoba meng-upgrade beberapa skill, barangkali nanti menemukan pekerjaan yang sesuai hati.
Tentunya selama itu freelance tidak berhenti.
Saya masih sering bepergian kemana-mana untuk mengajar.
Sering juga diam di kamar menyelesaikan deadline ilustrasi.
Sering juga jualan karena hobi coba produk make up baru.
Sering juga menjadi MUA dadakan, sampai disuruh bikin salon sama tetangga.

Bukan cuma itu, setiap sore, saya dan Luqman punya anak didik super banyak.
Karena rumah kami menjadi tempat belajar kecil-kecilan untuk anak-anak tetangga.
Kadang kami berdua, kadang bahkan serumah turun tangan karena anaknya banyak, kadang kalau saya tidak di rumah ya Luqman penanggungjawabnya.
Anak-anak menyebutnya tempat les.
Padahal bukan. Cuma tempat belajar aja.
Toh kami tidak punya basic yang mumpuni untuk membuka tempat les.
Lagipula kami tidak meminta upah, ada gitu tempat les gratis? Hahaha.
Awalnya karena miris.
Tetangga saya banyak yang tidak naik kelas.
Ngga bodoh kok. Ngga jenius juga. Mereka senormal anak lainnya. Tapi malas.
Mereka memilih tidak mengerjakan PR kalau tidak bisa.
Soalnya, tidak ada yang bisa ditanyai juga.
Makanya sejak saya di rumah jadi ada beberapa yang sering tanya PR, lama-lama jadi banyak.
Mumpung dong.
Kalau memang Allah ngga menghendaki saya jadi pengajar muda di pulau-pulau terpencil Indonesia, mungkin Allah minta saya untuk jadi pengajar muda di daerah saya sendiri. Apa bedanya? Malah disini tidak perlu jauh dari keluarga.
Saya inget janji yang saya ikrarkan bersama ribuan wisudawan lain 2 tahun yang lalu.
Bahwa dimanapun kami berada, kami harus jadi manusia yang bisa berbagi dan berguna buat masyarakat.
Saya pikir ini salah satu usaha saya buat nepatin janji itu dan mengesampingkan ego saya untuk memupuk harta dan materi cuma buat saya pribadi dan keluarga.
Setidaknya hati saya mendukung kegiatan saya saat ini.

Tapi ya itu, Ibu kadang suka maksa buat daftar kerja.
Lowongan apapun disuruh coba padahal bukan bidang saya.
Sampai kemudian bapak yang bisa menghentikan dengan satu kalimat, "Mbok ora sah to nek ora karepe, ndak malah dadi ora apik".
Kadang juga protes, membandingkan dengan beliau dulu waktu muda.
Katanya dulu beliau susah kerja demi orang tua sama sekolah adiknya, kok saya malah nganggur.
Sakit banget rasanya, seakan usaha saya selama SMP sampai kuliah ngga ada faedahnya buat keluarga.
Ibu saya sendiri aja yang liat kerjaan saya bahkan masih bilang saya nganggur apalagi orang lain.
Sedih banget.

Saya cuma berharap semoga saya diberi kekuatan lebih.
Biar orang tahu kalau ngga semua pekerjaan butuh 'kantor'.
Biar saya bisa buktiin kalau materi bukan segalanya.
Biar saya bisa buktiin kalau sesuatu yang muncul dari hati maknanya jauh lebih besar.
Saya pengen bertanggungjawab sama hal yang saya pilih.
Makanya saya butuh waktu buat mewujudkan itu.
I hope someday she'll understand.


0 komentar: